Istri Sholehah (Untuk Yg Ini Bacalah Dengan Hati...)
Bagikan ke
Pas buka-buka fb, ada teman yg tag artikel ini. Cerita
yang bagus, banyak hikmah di dalamnya. Akhirnya izin
buat share. Pesannya bacalah dengan hati....
Mengharu biru; kekuatan kata istri shalehah dalam kisah
ini begitu mengena. Catatan yang diambil dari page di
atas sajadah cinta ini sengaja kami kirimkan melalui
catatan inii semata-mata ingin menyebarkan manfaat
yang terkandung dalam kisah ini. Semoga bermanfaat_
Sore itu, menunggu kedatangan teman yang akan
menjemputku di masjid ini seusai ashar.. seorang
akhwat datang, tersenyum dan duduk disampingku,
mengucapkan salam, sambil berkenalan dan sampai pula
pada pertanyaan itu. “anty sudah menikah?”. “Belum
mbak”, jawabku. Kemudian akhwat itu .bertanya lagi
“kenapa?” hanya bisa ku jawab dengan senyuman.. ingin
ku jawab karena masih kuliah, tapi rasanya itu bukan
alasan.
“mbakmenunggu siapa?” aku mencoba bertanya.
“nunggu suami” jawabnya. Aku melihat kesamping
kirinya, sebuah tas laptop dan sebuah tas besar lagi
yang tak bisa kutebak apa isinya. Dalam hati bertanya-
tanya, dari mana mbak ini? Sepertinya wanita karir.
Akhirnya kuberanikan juga untuk bertanya “mbak kerja
dimana?”, ntahlah keyakinan apa yg meyakiniku bahwa
mbak ini seorang pekerja, padahal setahuku, akhwat2
seperti ini kebanyakan hanya mengabdi sebagai ibu
rumah tangga.
“Alhamdulillah 2 jam yang lalu saya resmi tidak bekerja
lagi” , jawabnya dengan wajah yang aneh menurutku,
wajah yang bersinar dengan ketulusan hati. “kenapa?”
tanyaku lagi. Dia hanya tersenyum dan menjawab
“karena inilah cara satu cara yang bisa membuat saya
lebih hormat pada suami” jawabnya tegas. Aku berfikir
sejenak, apa hubungannya? Heran. Lagi-lagi dia hanya
tersenyum.
Ukhty, boleh saya cerita sedikit? Dan saya berharap ini
bisa menjadi pelajaran berharga buat kita para wanita
yang Insya Allah akan didatangi oleh ikhwan yang
sangat mencintai akhirat.
“saya bekerja di kantor, mungkin tak perlu saya
sebutkan nama kantornya. Gaji saya 7juta/bulan. Suami
saya bekerja sebagai penjual roti bakar di pagi hari, es
cendol di siang hari. Kami menikah baru 3 bulan, dan
kemarinlah untuk pertama kalinya saya menangis karena
merasa durhaka padanya. Waktu itu jam 7 malam, suami
baru menjemput saya dari kantor, hari ini lembur,
biasanya sore jam 3 sudah pulang. Saya capek sekali
ukhty. Saat itu juga suami masuk angin dan kepalanya
pusing. Dan parahnya saya juga lagi pusing. Suami
minta diambilkan air minum, tapi saya malah berkata,
“abi, umi pusing nih, ambil sendirilah”.
Pusing membuat saya tertidur hingga lupa sholat isya.
Jam 23.30 saya terbangun dan cepat-cepat sholat,
Alhamdulillah pusing pun telah hilang. Beranjak dari
sajadah, saya melihat suami saya tidur dengan pulasnya.
Menuju ke dapur, saya liat semua piring sudah bersih
tercuci. Siapa lagi yang bukan mencucinya kalo bukan
suami saya? Terlihat lagi semua baju kotor telah di cuci.
Astagfirullah, kenapa abi mengerjakan semua ini?
Bukankah abi juga pusing tadi malam? Saya segera
masuk lagi ke kamar, berharap abi sadar dan mau
menjelaskannya, tapi rasanya abi terlalu lelah, hingga
tak sadar juga. Rasa iba mulai memenuhi jiwa saya, saya
pegang wajah suami saya itu, ya Allah panas sekali
pipinya, keningnya, Masya Allah, abi deman, tinggi
sekali panasnya. Saya teringat atas perkataan terakhir
saya pada suami tadi. Hanya disuruh mengambilkan air
minum saja, saya membantahnya. Air mata ini menetes,
betapa selama ini saya terlalu sibuk diluar rumah, tidak
memperhatikan hak suami saya.”
Subhanallah, aku melihat mbak ini cerita dengan
semangatnya, membuat hati ini merinding. Dan kulihat
juga ada tetesan air mata yg di usapnya.
“anty tau berapa gaji suami saya? Sangat berbeda jauh
dengan gaji saya. Sekitar 600-700rb/bulan. 10x lipat
dari gaji saya. Dan malam itu saya benar-benar merasa
durhaka pada suami saya. Dengan gaji yang saya miliki,
saya merasa tak perlu meminta nafkah pada suami,
meskipun suami selalu memberikan hasil jualannya itu
pada saya, dan setiap kali memberikan hasil jualannya ,
ia selalu berkata “umi,,ini ada titipan rezeki dari Allah.
Di ambil ya. Buat keperluan kita. Dan tidak banyak
jumlahnya, mudah2an umi ridho”, begitu katanya.
Kenapa baru sekarang saya merasakan dalamnya kata-
kata itu. Betapa harta ini membuat saya sombong pada
nafkah yang diberikan suami saya”, lanjutnya
“Alhamdulillah saya sekarang memutuskan untuk
berhenti bekerja, mudah-mudahan dengan jalan ini, saya
lebih bisa menghargai nafkah yang diberikan suami.
Wanita itu begitu susah menjaga harta, dan karena harta
juga wanita sering lupa kodratnya, dan gampang
menyepelekan suami.” Lanjutnya lagi, tak memberikan
kesempatan bagiku untuk berbicara.
“beberapa hari yang lalu, saya berkunjung ke rumah
orang tua, dan menceritakan niat saya ini. Saya sedih,
karena orang tua dan saudara-saudara saya tidak ada
yang mendukung niat saya untuk berhenti berkerja.
Malah mereka membanding-bandingkan pekerjaan suami
saya dengan orang lain.”
Aku masih terdiam, bisu, mendengar keluh kesahnya.
Subhanallah, apa aku bisa seperti dia? Menerima sosok
pangeran apa adanya, bahkan rela meninggalkan
pekerjaan.
“kak, kita itu harus memikirkan masa depan. Kita kerja
juga untuk anak-anak kita kak. Biaya hidup sekarang ini
besar. Begitu banyak orang yang butuh pekerjaan. Nah
kakak malah pengen berhenti kerja. Suami kakak pun
penghasilannya kurang. Mending kalo suami kakak
pengusaha kaya, bolehlah kita santai-santai aja di
rumah. Salah kakak juga sih, kalo ma jadi ibu rumah
tangga, seharusnya nikah sama yang kaya. Sama dokter
muda itu yang berniat melamar kakak duluan sebelum
sama yang ini. Tapi kakak lebih milih nikah sama orang
yang belum jelas pekerjaannya. Dari 4 orang anak bapak,
Cuma suami kakak yang tidak punya penghasilan tetap
dan yang paling buat kami kesal, sepertinya suami kakak
itu lebih suka hidup seperti ini, ditawarin kerja di bank
oleh saudara sendiri yang ingin membantupun tak mau,
sampai heran aku, apa maunya suami kakak itu”.
Ceritanya kembali, menceritakan ucapan adik
perempuannya saat dimintai pendapat.
“anty tau, saya hanya bisa nangis saat itu. Saya
menangis bukan Karena apa yang dikatakan adik saya
itu benar, bukan karena itu. Tapi saya menangis karena
imam saya dipandang rendah olehnya. Bagaimana
mungkin dia meremehkan setiap tetes keringat suami
saya, padahal dengan tetesan keringat itu, Allah
memandangnya mulia. Bagaimana mungkin dia
menghina orang yang senantiasa membangunkan saya
untuk sujud dimalam hari. Bagaimana mungkin dia
menghina orang yang dengan kata-kata lembutnya
selalu menenangkan hati saya. Bagaimana mungkin dia
menghina orang yang berani datang pada orang tua saya
untuk melamar saya, padahal saat itu orang tersebut
belum mempunyai pekerjaan. Baigaimana mungkin
seseorang yang begitu saya muliakan, ternyata begitu
rendah dihadapannya hanya karena sebuah pekerjaan.
Saya memutuskan berhenti bekerja, karena tak ingin
melihat orang membanding-bandingkan gaji saya
dengan gaji suami saya. Saya memutuskan berhenti
bekerja juga untuk menghargai nafkah yang diberikan
suami saya. Saya juga memutuskan berhenti bekerja
untuk memenuhi hak-hak suami saya. Semoga saya tak
lagi membantah perintah suami. Semoga saya juga ridho
atas besarnya nafkah itu. Saya bangga ukhti dengan
pekerjaan suami saya, sangat bangga, bahkan begitu
menghormati pekerjaannya, karena tak semua orang
punya keberanian dengan pekerjaan itu. Kebanyakan
orang lebih memilih jadi pengangguran dari pada
melakukan pekerjaan yang seperti itu. Tapi lihatlah
suami saya, tak ada rasa malu baginya untuk menafkahi
istri dengan nafkah yang halal. Itulah yang membuat
saya begitu bangga pada suami saya.
Semoga jika anty mendapatkan suami seperti saya, anty
tak perlu malu untuk menceritakannya pekerjaan suami
anty pada orang lain. Bukan masalah pekerjaannya
ukhty, tapi masalah halalnya, berkahnya, dan kita
memohon pada Allah, semoga Allah menjauhkan suami
kita dari rizki yang haram”. Ucapnya terakhir, sambil
tersenyum manis padaku.
Dia mengambil tas laptopnya,, bergegas ingin
meninggalkannku. Kulihat dari kejauhan seorang ikhwan
dengan menggunakan sepeda motor butut mendekat ke
arah kami, wajahnya ditutupi kaca helm, meskipun tak
ada niatku menatap mukanya. Sambil mengucapkan
salam, meninggalkannku. Wajah itu tenang sekali, wajah
seorang istri yang begitu ridho.
Ya Allah….
Sekarang giliran aku yang menangis. Hari ini aku dapat
pelajaran paling baik dalam hidupku.
Pelajaran yang membuatu menghapus sosok pangeran
kaya yang ada dalam benakku..
Subhanallah..
Selasa, 02 Desember 2014
Pelajaran hidup
Langganan:
Postingan (Atom)